background-attachment: fixed;

Minggu, 19 Februari 2012

Tradisi-Tradisi Yang Ada di Desa Kedungmpul


Dari hasil observasi dan wawancara ke setiap dusun di desa Kedungumpul, dapat dicatat beberapa tradisi lisan yang ada dan dilestarikan oleh masyarakat, di antaranya:
Sadranan
Sadranan atau juga bisa disebut Nyadran adalah akulturasi sunan Kalijaga dari tradisi Hindu-Budha yang telah ada semenjak Islam belum masuk ke tanah Jawa. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
               Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media si’ar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
               Nyadran sendiri berasal dari kata sodrun (bahasa Arab) yang artinya hati. Orang yang akan melaksanakan puasa, dalam hal ini adalah puasa Ramadhan, maka harus membersihkan hatinya dari dosa-dosa. Baik dosa dengan para leluhurnya yang telah meninggal, maupun dosa terhadap yang masih hidup. Untuk membersihkan diri dari dosa pada para leluhur caranya adalah dengan mendoakan mereka agar arwahnya diterima Allah SWT, dan  digolongkan sebagai ummat Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itulah bulan sya’ban dinamakan dengan bulan Ruwah, yang berasal dari kata ruh (tunggal) dan arwah (jamak) jadi ruwah.
               Adapun beberapa kelengkapan/piranti untuk syukuran ruwahan yang harus ada adalah (aslinya): Pisang Rojo (Roja’), ketan (Qoth’an) dan Apem (Afuwun). Pisang roja’, maknanya apabila telah datang Roja’ kembali dipanggil yang kuasa (meninggal). Maka Qoth’an, tidak dapat ditunda, tidak dapat minta atau diundur sedetikpun. Maka harapannya hanya Apem (afuwun) ampunan, baik ampunan dari Allah SWT, maupun maaf dan ampunan dari orang-orang yang dulu pernah disakitinya. Karenanya, yang perlu dilakukan dalam tradisi nyadran adalah: seruan untuk saling memaafkan, memaafkan orang yang telah tiada maupun yang masih hidup dan memohonkan ampunan bagi arwah yang telah meninggalkan kita.
               Di Temanggung, khususnya di desa Kedungumpul, tradisi sadranan masih sering dilaksanakan. Tidak hanya dilaksanakan pada makam-makam leluhur, tetapi juga dilaksanakan pada sendang sirau dan sendang Kedungwiyu sertra di kali Progo yang biasa disebut dengan sadranan kali atau ngawuh empang. Tradisi Nyadran Kali, menurut salah satu sesepuh di desa Kedungumpul merupakan wujud rasa syukur atas pemenuhan kebutuhan akan air bersih. Acara yang digelar setiap 1 Syuro ini berisikan serangkaian kegiatan, di antaranya yaitu dimulai dengan prosesi ngawuh empang atau menguras sendang pada pagi hari setelah sebelumnya acara dibuka oleh pemangku adat di dusun/ desa Kedungumpul. Setelah melakukan kegiatan ngawuh empang selesai. Dilanjutkan dengan acara berdoa bersama guna mendoakan sesepuh yang telah dulu wafat dan mengucap syukur karena kebutuhan warga akan air untuk kebutuhan sehari-hari, dan kebutuhan untuk irigasi pertanian terpenuhi. Selanjutnya adalah prosesi makan-makan warga bersama-sama di sendang sirau dan sendang kedungwiyu. Acara makan-makan bersama ini dari makanan yang dibawa oleh warga ke tempat ritual sadranan.  Makanan tersebut berupa ’Panggang Tumpeng’ dan wadah  ’tenong’.
               Panggang Tumpeng’  berupa  ayam jantan panggang, ’tenong’ yang berisi pisang raja setangkep (dua lapis) dan abon-abon (gantal, kemenyan, kembang wangi) di atas daun, kemudian diletakkan nasi tumpeng, lauk-pauk, beserta ingkung ayam. Sedangkan ’tenong’ berisi tumpeng nasi putih, arak-arakan atau hasil panenan komplit, polo kependem atau hasil bumi, takir tempat jenang bakalan (takir kelapa mentah, takir gula merah, takir beras), gecok (takir isi jeroan ayam belum dimasak), jadah tumpak (jadah yang disusun bertumpuk dengan lapisan atas diberi gula dan parutan kelapa) dan wajik.  Acara berikutnya adalah biasanya diadakan kesenian kuda lumping. Kesenian khas yang berasal dari Temanggung ini biasanya dimainkan pada sore hari sebagai bentuk acara penutup pada hari itu. Akan  tetapi, sebenarnya malamnya masih dilanjutkan dengan tirakatan di rumah kepala dusun. Demikianlah serangkaian kegiatan sadranan kali yang dilakukan oleh warga desa Kedungumpul.
               Dalam konteks sosial dan budaya kekinian, nyadran dapat dijadikan wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Kita dapat melihat, ketika nyadran trah tertentu tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, saudara berbeda agama, golongan, partai politik berkumpul menjadi satu. Mereka berbaur saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.
               Di dalam sadranan kali juga ada beberapa manfaat yang terkandung, manfaat yang terkandung secara umum adalah:
1.      Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada masyarakat sekitar yang berwujud atas pemenuhan kebutuhan air bersih
2.       Tradisi sadrana kali dapat mempererat tali silaturahmi yang ada di masyarakat setempat
3.      Untuk sarana berbagi kebersamaan dan melestarikan nilai-nilai tradisional Budaya.
4.       Sebagai sarana untuk mengingat perjalanan Desa Sucen
5.      Menambah rasa cinta pada alam sehingga terdorong selalu menjaganya

1 komentar: