Dari
hasil observasi dan wawancara ke setiap dusun di desa Kedungumpul, dapat
dicatat beberapa tradisi lisan yang ada dan dilestarikan oleh masyarakat, di antaranya:
Sadranan
Sadranan
atau juga bisa disebut Nyadran adalah
akulturasi sunan Kalijaga dari tradisi Hindu-Budha yang telah ada semenjak
Islam belum masuk ke tanah Jawa. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah
ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa
keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual
semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan
nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin
kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15.
Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya
budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para
wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para
wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar
mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media si’ar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau
akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang
dikuburkan.
Nyadran
sendiri berasal dari kata sodrun (bahasa Arab) yang artinya hati. Orang yang akan
melaksanakan puasa, dalam hal ini adalah puasa Ramadhan, maka harus membersihkan
hatinya dari dosa-dosa. Baik dosa dengan para leluhurnya yang telah meninggal,
maupun dosa terhadap yang masih hidup. Untuk membersihkan diri dari dosa pada
para leluhur caranya adalah dengan mendoakan mereka agar arwahnya diterima Allah
SWT, dan digolongkan sebagai ummat Nabi
Muhammad saw. Oleh sebab itulah bulan sya’ban
dinamakan dengan bulan Ruwah, yang
berasal dari kata ruh (tunggal) dan arwah (jamak) jadi ruwah.
Adapun beberapa
kelengkapan/piranti untuk syukuran ruwahan
yang harus ada adalah (aslinya): Pisang Rojo
(Roja’), ketan (Qoth’an) dan Apem (Afuwun).
Pisang roja’, maknanya apabila telah
datang Roja’ kembali dipanggil yang
kuasa (meninggal). Maka Qoth’an,
tidak dapat ditunda, tidak dapat minta atau diundur sedetikpun. Maka harapannya
hanya Apem (afuwun) ampunan, baik ampunan
dari Allah SWT, maupun maaf dan ampunan dari orang-orang yang dulu pernah
disakitinya. Karenanya, yang perlu dilakukan dalam tradisi nyadran adalah: seruan untuk saling memaafkan, memaafkan orang yang
telah tiada maupun yang masih hidup dan memohonkan ampunan bagi arwah yang
telah meninggalkan kita.
Di Temanggung,
khususnya di desa Kedungumpul, tradisi sadranan
masih sering dilaksanakan. Tidak hanya dilaksanakan pada makam-makam
leluhur, tetapi juga dilaksanakan pada sendang
sirau dan sendang Kedungwiyu sertra di kali Progo yang biasa
disebut dengan sadranan kali atau ngawuh empang. Tradisi Nyadran Kali, menurut salah satu
sesepuh di desa Kedungumpul merupakan wujud rasa syukur atas pemenuhan
kebutuhan akan air bersih. Acara yang digelar setiap 1 Syuro ini berisikan serangkaian kegiatan, di antaranya yaitu dimulai dengan prosesi ngawuh empang atau menguras sendang pada pagi hari setelah
sebelumnya acara dibuka oleh pemangku adat di dusun/ desa Kedungumpul. Setelah
melakukan kegiatan ngawuh empang selesai.
Dilanjutkan dengan acara berdoa bersama guna mendoakan sesepuh yang telah dulu
wafat dan mengucap syukur karena kebutuhan warga akan air untuk kebutuhan
sehari-hari, dan kebutuhan untuk irigasi pertanian terpenuhi. Selanjutnya
adalah prosesi makan-makan warga bersama-sama di sendang sirau dan sendang kedungwiyu.
Acara makan-makan bersama ini dari makanan yang dibawa oleh warga ke tempat
ritual sadranan. Makanan tersebut berupa
’Panggang Tumpeng’ dan wadah ’tenong’.
Panggang Tumpeng’ berupa
ayam jantan panggang, ’tenong’ yang berisi pisang raja setangkep (dua
lapis) dan abon-abon (gantal, kemenyan, kembang wangi) di atas daun, kemudian
diletakkan nasi tumpeng, lauk-pauk, beserta ingkung ayam. Sedangkan ’tenong’
berisi tumpeng nasi putih, arak-arakan atau hasil panenan komplit, polo
kependem atau hasil bumi, takir tempat jenang bakalan (takir kelapa mentah,
takir gula merah, takir beras), gecok (takir isi jeroan ayam belum dimasak),
jadah tumpak (jadah yang disusun bertumpuk dengan lapisan atas diberi gula dan
parutan kelapa) dan wajik. Acara
berikutnya adalah biasanya diadakan kesenian kuda lumping. Kesenian khas yang
berasal dari Temanggung ini biasanya dimainkan pada sore hari sebagai bentuk
acara penutup pada hari itu. Akan
tetapi, sebenarnya malamnya masih dilanjutkan dengan tirakatan di rumah kepala dusun.
Demikianlah serangkaian kegiatan sadranan kali yang dilakukan oleh warga desa
Kedungumpul.
Dalam konteks sosial
dan budaya kekinian, nyadran dapat dijadikan wahana perekat sosial, sarana
membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Kita dapat
melihat, ketika nyadran trah tertentu tidak terasa terkotak-kotak dalam status
sosial, kelas, saudara berbeda agama, golongan, partai politik berkumpul menjadi
satu. Mereka berbaur saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.
Di dalam sadranan kali juga ada
beberapa manfaat yang terkandung, manfaat yang terkandung secara umum adalah:
1. Sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan anugerah yang
diberikan kepada masyarakat sekitar yang berwujud atas pemenuhan kebutuhan air
bersih
2. Tradisi sadrana kali dapat mempererat tali
silaturahmi yang ada di masyarakat setempat
3. Untuk
sarana berbagi kebersamaan dan melestarikan nilai-nilai tradisional Budaya.
4. Sebagai sarana untuk mengingat perjalanan Desa
Sucen
5. Menambah
rasa cinta pada alam sehingga terdorong selalu menjaganya
sip
BalasHapus