background-attachment: fixed;

Minggu, 19 Februari 2012

Dusun Ngulakan



Pada zaman dahulu dusun ini didatangi oleh sepasang musafir yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Sepasang musafir itu bernama Raden Ronggo Kusumo dan istrinya bernama Gadung Melati. Ketika sampai di daerah ini, sepasang suami-istri itu berjalan ke arah timur melewati bukit Dandang dan bukit Giling. Setelah melewati kedua bukit tersebut mereka menemukan sebuah pohon beringin dan pohon Bendo Rau yang sangat besar dan rimbun. Keduanya kemudian singgah dan duduk-duduk di bawahnya karena merasa lelah. Tiba-tiba mereka mendengar suara percikan air, yang ternyata suara tersebut berasal dari mata air yang berada di bawah pohon Bendo Rau. Karena tempat yang mereka singgahi ini ternyata sangat indah, sejuk dan nyaman, merekapun memutuskan untuk menetap dan tidak melanjutkan perjalanan ke barat ataupun kembali ke Kediri. Selanjutnya kedua musafir ini membuat gubuk di dekat sumber mata air tersebut.
               Keseharian mereka berdua isi dengan bercocok tanam. Macam-macam umbi-umbian dan ketela yang mereka olah menjadi kulak ubi dan kulak tape ketela. Setelah beberapa tahun kemudian, pasangan yang tidak memiliki keturunan ini di datangi oleh keluarga musafir yang sedang dalam perjalanan pula. Keluarga itu terdiri atas suami-istri dan 3 orang anak yang kemudian memutuskan untuk membangun gubuk di samping gubuk milik Raden Ronggo Kusumo dan Gadung Melati. Keluarga Raden Ronggo Kusumo sering memberikan kulak ubi kepada keluarga pendatang setiap harinya.
               Pada suatu hari, Raden Ronggo Kusumo tidak memberikan kulak kepada tetangga barunya itu. Ketiga anak pendatang tersebutpun mendatangi gubuk Raden Ronggo Kusumo dan bertanya, “mbah, apa ndak ngulak?” Raden Ronggo Kusumopun menjawab, “o, ya.. nanti tak ngulakin.” Mendengar jawaban tersebut, kemudian ketiga anak tersebut memanggil Raden Ronggo Kusumo dengan sebutan mbah Ngulakin. Dari sana kemudian dusun ini dikenal dengan sebutan dusun Ngulakan.
               Versi lain menjelaskan bahwa asal mula mengapa dusun ini bernama dusun Ngulakan adalah karena dahulu pernah ada pasar yang dibangun oleh Raden Broto Wage, seorang musafir dari Jogjakarta yang membangun rumah di dekat rumah Raden Ronggo Kusumo. Tahun ke tahun setelah itu semakin banyak orang yang berdatangan ke dusun ini untuk melakuakan transaksi jual beli atau kulakan.  Orang-orang akhirnya lebih akrab menyebut dusun ini dengan sebutan dusun Kulakan atau dusun Ngulakan.
               Efek dari semakin banyaknya warga yang datang dan akhirnya menetap di dusun Ngulakan, mereka akhirnya membendung mata air di bawah pohon Bendo Rau yang ditemukan oleh Raden Ronggo Kusumo. Mata air tersebut kemudian diberi nama Sendang Sirau. Pernah juga daerah dusun Ngulakan terkena angin Topan, yang kemudian menerjang pohon beringin dan pohon bendo rau yang ada di atasnya. Batang pohon yang tumbang ada yang masuk ke dalam sendang. Hingga kini, meski berkali-kali di coba oleh warga dusun Ngulakan, potongan batang pohon yang ada di dalam sendang tersebut tidak bisa dikeluarkan. Dikisahkan juga pada suatu hari, Raden Ronggo Kusumo meminta izin kepada istrinya, Gadung Melati, untuk pergi ke desa Blimbing untuk menjenguk temannya yang ada di desa tersebut.  Sesampainya di desa tersebut, Raden Ronggo Kusumo jatuh sakit. Setelah 3 hari tidak kunjung membaik, akhirnya Raden Ronggo Kusumo meninggal dunia dan dimakamkan di dusun Blimbing. Tidak lama kemudian istri Raden Kusumo-pun ikut meninggal di dusun Ngulakan.
               Suatu hari, Raden Broto Wage mencuci barang dagangannya di sendang Sirau. Ketika itu Raden Broto Wage menggunakan baju berwarna hijau gadung (gading). Setibanya di rumah, Raden Broto kesurupan dan mengaku yang menyurupinya adalah Gadung Melati. Setelah diperdengarkan bunyi kendang dan bonang, Raden Broto Wage sembuh dari kesurupannya dan mendapatkan amanat bahwa Sendang Sirau harus dibersihkan dan dikuras airnya setiap bulan syuro. Prosesi kuras kolam ini masih dilaksanakan hingga saat ini tiap hari kamis kliwon. Warga biasa menyebutnya dengan upacara sadranan kali, yaitu membedah kali (sendang) dengan disertai membawa tumpeng nasi megono. Kemudian acara dilanjutkan dengan pentas seni kuda lumping pada sore harinya.
Di dusun ini juga ditemukan dua buah batu lumpang- batu alat penumbuk padi, berbentuk bulat dengan bagian lebih cekung di bagian tengahnya. Batu tersebut berada di belakang rumah warga dan satu lagi berada di kebun belakang rumah warga. Penemuan dua buah batu ini semakin memperkuat bahwa memang dahulu tempat ini- dusun Ngulakan- pernah ramai dan menjadi pemukiman warga pada suatu masa jauh sebelum masa seperti sekarang ini.


1 komentar:

  1. Halo Bossku ^^
    Segera Daftarkan ID di ibu21,com
    Menyediakan 8 Permainan Hanya Dengan 1 ID
    Serta Tersedia Promo Menarik
    Bonus Turn Over Terbesar
    Bonus Refferal Seumur Hidup
    Minimal Deposit Hanya 25Rb
    BBM : csibuqq
    WA : +855 88 780 6060
    Di Tunggu Kehadirannya Bossku ^^

    BalasHapus