Pada
zaman dahulu dusun ini didatangi oleh sepasang musafir yang berasal dari
Kediri, Jawa Timur. Sepasang musafir itu bernama Raden Ronggo Kusumo dan
istrinya bernama Gadung Melati. Ketika sampai di daerah ini, sepasang
suami-istri itu berjalan ke arah timur melewati bukit Dandang dan bukit Giling.
Setelah melewati kedua bukit tersebut mereka menemukan sebuah pohon beringin
dan pohon Bendo Rau yang sangat besar
dan rimbun. Keduanya kemudian singgah dan duduk-duduk di bawahnya karena merasa
lelah. Tiba-tiba mereka mendengar suara percikan air, yang ternyata suara
tersebut berasal dari mata air yang berada di bawah pohon Bendo Rau. Karena tempat
yang mereka singgahi ini ternyata sangat indah, sejuk dan nyaman, merekapun
memutuskan untuk menetap dan tidak melanjutkan perjalanan ke barat ataupun
kembali ke Kediri. Selanjutnya kedua musafir ini membuat gubuk di dekat sumber
mata air tersebut.
Keseharian mereka berdua isi
dengan bercocok tanam. Macam-macam umbi-umbian dan ketela yang mereka olah
menjadi kulak ubi dan kulak tape ketela. Setelah beberapa tahun kemudian,
pasangan yang tidak memiliki keturunan ini di datangi oleh keluarga musafir
yang sedang dalam perjalanan pula. Keluarga itu terdiri atas suami-istri dan 3
orang anak yang kemudian memutuskan untuk membangun gubuk di samping gubuk
milik Raden Ronggo Kusumo dan Gadung Melati. Keluarga Raden Ronggo Kusumo
sering memberikan kulak ubi kepada keluarga pendatang setiap harinya.
Pada suatu hari, Raden Ronggo
Kusumo tidak memberikan kulak kepada tetangga barunya itu. Ketiga anak
pendatang tersebutpun mendatangi gubuk Raden Ronggo Kusumo dan bertanya, “mbah, apa ndak ngulak?” Raden Ronggo
Kusumopun menjawab, “o, ya.. nanti tak
ngulakin.” Mendengar jawaban tersebut, kemudian ketiga anak tersebut
memanggil Raden Ronggo Kusumo dengan sebutan mbah Ngulakin. Dari sana kemudian
dusun ini dikenal dengan sebutan dusun Ngulakan.
Versi lain menjelaskan bahwa asal
mula mengapa dusun ini bernama dusun Ngulakan adalah karena dahulu pernah ada
pasar yang dibangun oleh Raden Broto Wage, seorang musafir dari Jogjakarta yang
membangun rumah di dekat rumah Raden Ronggo Kusumo. Tahun ke tahun setelah itu
semakin banyak orang yang berdatangan ke dusun ini untuk melakuakan transaksi
jual beli atau kulakan. Orang-orang akhirnya lebih akrab menyebut
dusun ini dengan sebutan dusun Kulakan atau
dusun Ngulakan.
Efek dari semakin banyaknya warga
yang datang dan akhirnya menetap di dusun Ngulakan, mereka akhirnya membendung
mata air di bawah pohon Bendo Rau
yang ditemukan oleh Raden Ronggo Kusumo. Mata air tersebut kemudian diberi nama
Sendang Sirau. Pernah juga daerah
dusun Ngulakan terkena angin Topan, yang kemudian menerjang pohon beringin dan
pohon bendo rau yang ada di atasnya.
Batang pohon yang tumbang ada yang masuk ke dalam sendang. Hingga kini, meski
berkali-kali di coba oleh warga dusun Ngulakan, potongan batang pohon yang ada
di dalam sendang tersebut tidak bisa dikeluarkan. Dikisahkan juga pada suatu
hari, Raden Ronggo Kusumo meminta izin kepada istrinya, Gadung Melati, untuk
pergi ke desa Blimbing untuk menjenguk temannya yang ada di desa tersebut. Sesampainya di desa tersebut, Raden Ronggo
Kusumo jatuh sakit. Setelah 3 hari tidak kunjung membaik, akhirnya Raden Ronggo
Kusumo meninggal dunia dan dimakamkan di dusun Blimbing. Tidak lama kemudian
istri Raden Kusumo-pun ikut meninggal di dusun Ngulakan.
Suatu hari, Raden Broto Wage
mencuci barang dagangannya di sendang
Sirau. Ketika itu Raden Broto Wage menggunakan baju berwarna hijau gadung
(gading). Setibanya di rumah, Raden Broto kesurupan dan mengaku yang
menyurupinya adalah Gadung Melati. Setelah diperdengarkan bunyi kendang dan
bonang, Raden Broto Wage sembuh dari kesurupannya dan mendapatkan amanat bahwa Sendang Sirau harus dibersihkan dan
dikuras airnya setiap bulan syuro.
Prosesi kuras kolam ini masih dilaksanakan hingga saat ini tiap hari kamis
kliwon. Warga biasa menyebutnya
dengan upacara sadranan kali, yaitu membedah kali (sendang) dengan disertai
membawa tumpeng nasi megono. Kemudian
acara dilanjutkan dengan pentas seni kuda lumping pada sore harinya.
Di
dusun ini juga ditemukan dua buah batu lumpang-
batu alat penumbuk padi, berbentuk bulat dengan bagian lebih cekung di bagian
tengahnya. Batu tersebut berada di belakang rumah warga dan satu lagi berada di
kebun belakang rumah warga. Penemuan dua buah batu ini semakin memperkuat bahwa
memang dahulu tempat ini- dusun Ngulakan- pernah ramai dan menjadi pemukiman
warga pada suatu masa jauh sebelum masa seperti sekarang ini.
Halo Bossku ^^
BalasHapusSegera Daftarkan ID di ibu21,com
Menyediakan 8 Permainan Hanya Dengan 1 ID
Serta Tersedia Promo Menarik
Bonus Turn Over Terbesar
Bonus Refferal Seumur Hidup
Minimal Deposit Hanya 25Rb
BBM : csibuqq
WA : +855 88 780 6060
Di Tunggu Kehadirannya Bossku ^^