background-attachment: fixed;

Profil Desa Kedungumpul, Kandangan

Kantor desa kedungumpul yang dikepalai oleh Pak Suwito.

Gotong Royong Dusun Sendang

kegiatan gotong royong ini dilakukan di dusun sendang pada hari Minggu 21 Januari 2012

Pembudidayaan Kolam Ikan Lele di Dusun Ngulakan 28 Januari 2012

Pembudidayaan Ikan Lele di Dusun Ngulakan dengan peninjauan Mahasiswa Tim 1 KKN Undip

Rapat PKK ibu-ibu desa kedungumpul

Pertemuan ibu-ibu PKK desa Kedungumpul yang dilaksanakan di rumah Pak Suwito selaku Kepala Desa Kedungumpul

Gambar Umum Desa Kedungumpul

Peta Umum Desa Kedungumpul

Minggu, 19 Februari 2012

Dusun Piyak


Kata Piyak yang melekat pada nama dusun ini awal mulanya dikisahkan bahwa di dusun tersebut ditemukan 2 buah makam. Makam tersebut diketahui berasal dari trah Jogja dan trah Solo. Kata trah berarti keturunan. Dusun Piyak sendiri dahulu di bagi dua- di iyak berdasarkan kedua trah tersebut. Hal tersebutlah yang mendasari penamaan dusun Piyak seperti sekarang ini.  Ada kemiripan cerita yang bisa ditangkap mengenai asal mula mengapa dusun ini kemudian diberi nama Piyak pada cerita terbentuknya dusun Ngumpul, yaitu salah seorang saudara dari kyai Ngumpul yang masa itu ikut melakukan perjalanan kemudian memilih menetap di dusun ini.
               Ada pembeda antara kedua trah yang menempati area ini, trah Mataram atau yang berasal dari kasunanan Jogja lebih cenderung menempati daerah perbukitan. Mereka merupakan keturunan orang-orang darah biru yang melarikan diri. Terbukti dengan nama-nama warga yang diawali dengan gelar seperti R. (Raden), R.R. (Raden Roro), atau R.M. (Raden Mas) Sementara trah Solo lebih berasal dari rakyat Jelata, mereka tinggal di dataran yang lebih rendah. Kedua trah ini dibatasi oleh sebuah jalan yang memang benar-benar memisahkan keduanya dari berbagai aspek. Hampir jarang ditemukan interaksi di antara kedua trah tersebut.
               Seiring perkembangan zaman, perbedaan trah tersebut kini perlahan sudah mulai pudar. Mulai sejak akhir dekade 90-an pembeda antara trah Solo dan trah Jogja mulai tidak begitu dipermasalahkan oleh waga di dusun Piyak. Sebelumnya, seperti untuk urusan orang meninggal, yang berasal dari masing-masing trah selalu dimakamkan di komplek pemakaman khusus tiap trah. Kini, warga lebih bebas memakamkan sanak-saudaranya yang wafat untuk dimakamkan di mana saja. Tidak lagi mengacu pada dari trah mana ia berasal.

Dusun Ngulakan



Pada zaman dahulu dusun ini didatangi oleh sepasang musafir yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Sepasang musafir itu bernama Raden Ronggo Kusumo dan istrinya bernama Gadung Melati. Ketika sampai di daerah ini, sepasang suami-istri itu berjalan ke arah timur melewati bukit Dandang dan bukit Giling. Setelah melewati kedua bukit tersebut mereka menemukan sebuah pohon beringin dan pohon Bendo Rau yang sangat besar dan rimbun. Keduanya kemudian singgah dan duduk-duduk di bawahnya karena merasa lelah. Tiba-tiba mereka mendengar suara percikan air, yang ternyata suara tersebut berasal dari mata air yang berada di bawah pohon Bendo Rau. Karena tempat yang mereka singgahi ini ternyata sangat indah, sejuk dan nyaman, merekapun memutuskan untuk menetap dan tidak melanjutkan perjalanan ke barat ataupun kembali ke Kediri. Selanjutnya kedua musafir ini membuat gubuk di dekat sumber mata air tersebut.
               Keseharian mereka berdua isi dengan bercocok tanam. Macam-macam umbi-umbian dan ketela yang mereka olah menjadi kulak ubi dan kulak tape ketela. Setelah beberapa tahun kemudian, pasangan yang tidak memiliki keturunan ini di datangi oleh keluarga musafir yang sedang dalam perjalanan pula. Keluarga itu terdiri atas suami-istri dan 3 orang anak yang kemudian memutuskan untuk membangun gubuk di samping gubuk milik Raden Ronggo Kusumo dan Gadung Melati. Keluarga Raden Ronggo Kusumo sering memberikan kulak ubi kepada keluarga pendatang setiap harinya.
               Pada suatu hari, Raden Ronggo Kusumo tidak memberikan kulak kepada tetangga barunya itu. Ketiga anak pendatang tersebutpun mendatangi gubuk Raden Ronggo Kusumo dan bertanya, “mbah, apa ndak ngulak?” Raden Ronggo Kusumopun menjawab, “o, ya.. nanti tak ngulakin.” Mendengar jawaban tersebut, kemudian ketiga anak tersebut memanggil Raden Ronggo Kusumo dengan sebutan mbah Ngulakin. Dari sana kemudian dusun ini dikenal dengan sebutan dusun Ngulakan.
               Versi lain menjelaskan bahwa asal mula mengapa dusun ini bernama dusun Ngulakan adalah karena dahulu pernah ada pasar yang dibangun oleh Raden Broto Wage, seorang musafir dari Jogjakarta yang membangun rumah di dekat rumah Raden Ronggo Kusumo. Tahun ke tahun setelah itu semakin banyak orang yang berdatangan ke dusun ini untuk melakuakan transaksi jual beli atau kulakan.  Orang-orang akhirnya lebih akrab menyebut dusun ini dengan sebutan dusun Kulakan atau dusun Ngulakan.
               Efek dari semakin banyaknya warga yang datang dan akhirnya menetap di dusun Ngulakan, mereka akhirnya membendung mata air di bawah pohon Bendo Rau yang ditemukan oleh Raden Ronggo Kusumo. Mata air tersebut kemudian diberi nama Sendang Sirau. Pernah juga daerah dusun Ngulakan terkena angin Topan, yang kemudian menerjang pohon beringin dan pohon bendo rau yang ada di atasnya. Batang pohon yang tumbang ada yang masuk ke dalam sendang. Hingga kini, meski berkali-kali di coba oleh warga dusun Ngulakan, potongan batang pohon yang ada di dalam sendang tersebut tidak bisa dikeluarkan. Dikisahkan juga pada suatu hari, Raden Ronggo Kusumo meminta izin kepada istrinya, Gadung Melati, untuk pergi ke desa Blimbing untuk menjenguk temannya yang ada di desa tersebut.  Sesampainya di desa tersebut, Raden Ronggo Kusumo jatuh sakit. Setelah 3 hari tidak kunjung membaik, akhirnya Raden Ronggo Kusumo meninggal dunia dan dimakamkan di dusun Blimbing. Tidak lama kemudian istri Raden Kusumo-pun ikut meninggal di dusun Ngulakan.
               Suatu hari, Raden Broto Wage mencuci barang dagangannya di sendang Sirau. Ketika itu Raden Broto Wage menggunakan baju berwarna hijau gadung (gading). Setibanya di rumah, Raden Broto kesurupan dan mengaku yang menyurupinya adalah Gadung Melati. Setelah diperdengarkan bunyi kendang dan bonang, Raden Broto Wage sembuh dari kesurupannya dan mendapatkan amanat bahwa Sendang Sirau harus dibersihkan dan dikuras airnya setiap bulan syuro. Prosesi kuras kolam ini masih dilaksanakan hingga saat ini tiap hari kamis kliwon. Warga biasa menyebutnya dengan upacara sadranan kali, yaitu membedah kali (sendang) dengan disertai membawa tumpeng nasi megono. Kemudian acara dilanjutkan dengan pentas seni kuda lumping pada sore harinya.
Di dusun ini juga ditemukan dua buah batu lumpang- batu alat penumbuk padi, berbentuk bulat dengan bagian lebih cekung di bagian tengahnya. Batu tersebut berada di belakang rumah warga dan satu lagi berada di kebun belakang rumah warga. Penemuan dua buah batu ini semakin memperkuat bahwa memang dahulu tempat ini- dusun Ngulakan- pernah ramai dan menjadi pemukiman warga pada suatu masa jauh sebelum masa seperti sekarang ini.


Tradisi-Tradisi Yang Ada di Desa Kedungmpul


Dari hasil observasi dan wawancara ke setiap dusun di desa Kedungumpul, dapat dicatat beberapa tradisi lisan yang ada dan dilestarikan oleh masyarakat, di antaranya:
Sadranan
Sadranan atau juga bisa disebut Nyadran adalah akulturasi sunan Kalijaga dari tradisi Hindu-Budha yang telah ada semenjak Islam belum masuk ke tanah Jawa. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
               Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media si’ar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
               Nyadran sendiri berasal dari kata sodrun (bahasa Arab) yang artinya hati. Orang yang akan melaksanakan puasa, dalam hal ini adalah puasa Ramadhan, maka harus membersihkan hatinya dari dosa-dosa. Baik dosa dengan para leluhurnya yang telah meninggal, maupun dosa terhadap yang masih hidup. Untuk membersihkan diri dari dosa pada para leluhur caranya adalah dengan mendoakan mereka agar arwahnya diterima Allah SWT, dan  digolongkan sebagai ummat Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itulah bulan sya’ban dinamakan dengan bulan Ruwah, yang berasal dari kata ruh (tunggal) dan arwah (jamak) jadi ruwah.
               Adapun beberapa kelengkapan/piranti untuk syukuran ruwahan yang harus ada adalah (aslinya): Pisang Rojo (Roja’), ketan (Qoth’an) dan Apem (Afuwun). Pisang roja’, maknanya apabila telah datang Roja’ kembali dipanggil yang kuasa (meninggal). Maka Qoth’an, tidak dapat ditunda, tidak dapat minta atau diundur sedetikpun. Maka harapannya hanya Apem (afuwun) ampunan, baik ampunan dari Allah SWT, maupun maaf dan ampunan dari orang-orang yang dulu pernah disakitinya. Karenanya, yang perlu dilakukan dalam tradisi nyadran adalah: seruan untuk saling memaafkan, memaafkan orang yang telah tiada maupun yang masih hidup dan memohonkan ampunan bagi arwah yang telah meninggalkan kita.
               Di Temanggung, khususnya di desa Kedungumpul, tradisi sadranan masih sering dilaksanakan. Tidak hanya dilaksanakan pada makam-makam leluhur, tetapi juga dilaksanakan pada sendang sirau dan sendang Kedungwiyu sertra di kali Progo yang biasa disebut dengan sadranan kali atau ngawuh empang. Tradisi Nyadran Kali, menurut salah satu sesepuh di desa Kedungumpul merupakan wujud rasa syukur atas pemenuhan kebutuhan akan air bersih. Acara yang digelar setiap 1 Syuro ini berisikan serangkaian kegiatan, di antaranya yaitu dimulai dengan prosesi ngawuh empang atau menguras sendang pada pagi hari setelah sebelumnya acara dibuka oleh pemangku adat di dusun/ desa Kedungumpul. Setelah melakukan kegiatan ngawuh empang selesai. Dilanjutkan dengan acara berdoa bersama guna mendoakan sesepuh yang telah dulu wafat dan mengucap syukur karena kebutuhan warga akan air untuk kebutuhan sehari-hari, dan kebutuhan untuk irigasi pertanian terpenuhi. Selanjutnya adalah prosesi makan-makan warga bersama-sama di sendang sirau dan sendang kedungwiyu. Acara makan-makan bersama ini dari makanan yang dibawa oleh warga ke tempat ritual sadranan.  Makanan tersebut berupa ’Panggang Tumpeng’ dan wadah  ’tenong’.
               Panggang Tumpeng’  berupa  ayam jantan panggang, ’tenong’ yang berisi pisang raja setangkep (dua lapis) dan abon-abon (gantal, kemenyan, kembang wangi) di atas daun, kemudian diletakkan nasi tumpeng, lauk-pauk, beserta ingkung ayam. Sedangkan ’tenong’ berisi tumpeng nasi putih, arak-arakan atau hasil panenan komplit, polo kependem atau hasil bumi, takir tempat jenang bakalan (takir kelapa mentah, takir gula merah, takir beras), gecok (takir isi jeroan ayam belum dimasak), jadah tumpak (jadah yang disusun bertumpuk dengan lapisan atas diberi gula dan parutan kelapa) dan wajik.  Acara berikutnya adalah biasanya diadakan kesenian kuda lumping. Kesenian khas yang berasal dari Temanggung ini biasanya dimainkan pada sore hari sebagai bentuk acara penutup pada hari itu. Akan  tetapi, sebenarnya malamnya masih dilanjutkan dengan tirakatan di rumah kepala dusun. Demikianlah serangkaian kegiatan sadranan kali yang dilakukan oleh warga desa Kedungumpul.
               Dalam konteks sosial dan budaya kekinian, nyadran dapat dijadikan wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Kita dapat melihat, ketika nyadran trah tertentu tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, saudara berbeda agama, golongan, partai politik berkumpul menjadi satu. Mereka berbaur saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.
               Di dalam sadranan kali juga ada beberapa manfaat yang terkandung, manfaat yang terkandung secara umum adalah:
1.      Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada masyarakat sekitar yang berwujud atas pemenuhan kebutuhan air bersih
2.       Tradisi sadrana kali dapat mempererat tali silaturahmi yang ada di masyarakat setempat
3.      Untuk sarana berbagi kebersamaan dan melestarikan nilai-nilai tradisional Budaya.
4.       Sebagai sarana untuk mengingat perjalanan Desa Sucen
5.      Menambah rasa cinta pada alam sehingga terdorong selalu menjaganya

Kamis, 09 Februari 2012

Dusun Kedungwiyu

Dusun Kedungwiyu merupakan dusun yang bertempat di perbatasan Desa Kedungumpul dan Desa Wadas. Dusun ini merupakan satu-satunya Dusun di Kedungumpul yang di pimpin oleh seorang ibu yang bernama Siti Nurhidayah. Dusun ini memiliki sejarah penting mengenai asal-asul Desa Kedungumpul yang mana disana terletak makam kiai kedu.Kegiatan rutin di Dusun ini adalah pengajian ibu-ibu yang diadakan tiap malam minggu dan yasinan tiap malam Jumat.
Terdapat beberapa peninggalan sejarah disana diantaranya peninggalan batu-batu serta pohon sendang yang mana pohon itu memiliki mata air yang tidak habis, masyarakat disana memiliki kepercayaan bahwa air tersebut dapat membawa berkah.
Sesepuh kedungwiyu Mbah Asmo mengatakan bahwa pohon sendang itu merupakan sumber penghidupan di masa lalu yang mana sering dipakai untuk mencuci, serta untuk diminum. Disana juga terdapat anak sungai kaliprogo, orang-orang sering datang kesana untuk melakukan salah satu aktivitas yang menyenangkan seprti rafting.


Dusun Ngesrep

Dusun Ngesrep bertempat di sebelah barat desa kedungumpul, Dusun ini dipimpin oleh Pak Sukirman. Dusun ini terdiri dari pendatang yang pindah dari kota temanggung. Dusun ini bermayoritas non muslim, dengan jumlah warga yang sebagian besar beragama Nasrani. Dusun ini dikatakan dusun paling aman di antara dusun lainnya di desa kedungumpul dikarenakan setiap warganya rata-rata memliki peliharaan anjing. Di katakan juga dusun ini memiliki tingkat pendidikan yang lumayan dikarenakan banyak lulusan sarjana disana.
Di Dusun ini terdapat peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tersebut berupa batu Yoni yang terletak di sebelah pos kamling dusun Ngesrep.
 Batu Yoni ini sebelumnya memiliki penutup yang saat ini telah hilang karena ulah tangan yang tidak bertanggungjawab. Hal ini sangat disayangkan sekali karena Batu Yoni tersebut merupakan salah satu peninggalan yang masih ada di dusun Ngesrep.

Selasa, 31 Januari 2012

Rapat Ibu-ibu PKK Desa Kedungumpul






Pada hari Sabtu, diadakan rapat PKK di tempat balai PKK, 21 Januari 2012.Rapat koordinasi PKK ini merupakan sarana untuk mensosialisasikan rencana program tim KKN desa Kedungumpul.
Di rumah Ibu Kades, tempat pelaksanaan rapat PKK ini telah  membahas mengenai program selanjutnya untuk mengawali tahun 2012 ini. Dipertemuan ini diperbincangkan mengenai Lomba hingga kegiatan sosial yang akan dicanangkan untuk setahun kedepannya. 
Pada rapat itu juga telah dihadirkan sosialisasi tabung gas, dimana saat itu telah di ajarkan atau disosialisasikan mengenai penggunaan tabung gas elpiji 3kg dengan benar, ini dikhusukan untuk ibu-ibu yang sering memasak menggunakan tabung gas elpiji tersebut. 

Penggemukan Sapi potong


Jumat, 15 Juli 2011


Penggemukan Sapi Potong

PENGGEMUKAN SAPI POTONG
(Beef Caffle Fatlenty)



     Kabupaten Temanggung merupakan daerah agraris yang sebagian penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Luas lahan pertanian mencapai 60,956 Ha dengan suhu udara antara 18° C – 28° C dan curah hujan antara 1.000 – 3.100 mm/tahun. Tanah yang subur menyebabkan sebagian besar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh para petani untuk memelihara sapi potong karena mudahnya mendapatkan rumput untuk makanan.sapi4
     Usaha di bidang peternakan ini kini semakin banyak diminati khususnya penggemukan sapi potong. Di Temanggung selain pakan mudah didapat, lahan pemeliharaannya tersedia cukup banyak. Pemerintah Kabupaten Temanggung sendiri saat ini tengah menyediakan lahan bekas galian C yang berada di Desa Kwadungan Gunung dan Desa Kwadungan Jurang untuk proyek penggemukan sapi potong. Proyek ini ditujukan untuk menarik investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri disamping itu juga untuk memberi ruang kerja bagi penduduk sekitarnya.

Potensi
     Usaha penggemukan sapi potong memiliki potensi yang cukup baik dengan pertimbangan antara lain populasi sapi potong di Kabupaten Temanggung sebanyak 35.342 ekor, sebagian besar (60%) peranakan Simental dan Limousine. Selanju8tnya agroklimat (suhu udara, kelembaban dan curah hujan) sangat cocok untuk penggemukan sapi dan budaya masyarakat petani/pertanian sangat akrab dengan ternak khususnya sapi potong.
     Selain itu produksi Hijauan Makanan Ternak (HMT) setara dengan 240.148 Animal Unit (AU), sedangkan populasi ternak (sapi, kerbau dan domba/kambing) setara dengan 81. AA1 AU, sehingga masih dimungkinkan pengembangan ternak sebanyak 158.707 AU (setara dengan 158.707 ekor sapi). Potensi lainnya, pakan tambahan seperti bekatul padi, bekatul jagung, ketela pohon, ampas ketela, ampas tahu, kulit kopi dan lain-lain banyak didapat dan relative murah.
Prospek
     sapi3Prospek penggemukan sapi potong cukup bagus sejalan dengan meningkatnya penduduk, maka kebutuhan protein kewani akan meningkat. Selain itu, menurunnya import sapi dari Amerika, Australia, India dan lain-lain karena penyakit Antrax, mulut dan kuku serta sapi gila, mendorong peternakan local menjadi trend dan banyak dilirik. Prospek lain yang mendorong adalah menguatnya isu lingkungan mendorong pemakaian pupuk dan perlakuan organic bagi tanaman meningkat (sapi penghasil utama pupuk organik dari hewan).
     Disamping itu trend harga sapi dari tahun ke tahun tidk pernah menurun, cenderung 5 – 8 % diatas rata-rata inflasi. Dan yang perlu dicatat adalah pengeluaran sapi siap potong dari Kabupaten Temanggung ke luar daerah (Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta dan lain-lain) tercatat sebanyak 150-175 ekor/bulan.
     Penggemukan sapi potong didorong untuk memanfaatkan lahan bekas penambangan galian C milik Pemkab Temanggung. Usaha ini diharapkan dapat mensuplay kebutuhan daging sapi local (Temanggung dan Magelang), regional (Semarang, Tegal dan Wonosobo) dan nasional (Jakarta, Bandung, Cirebon). Selain daging, usaha ini juga dapat menjadi penghasil pupuk organik (padat dan cair). Disamping itu untuk menyerap tenaga kerja.
Menejemen teknis
     Dasar Perhitungan dalam usaha ini adalah sistem penggemukan (fatting) yang dikombinasikan dengan tradding (jual beli), jumlah sapi/kapasitas kandang 500 – 550 ekor dan lama penggemukan 5 – 6 bulan, 5,5 bulan = 150 hari. Selain itu sistem in – out  + 150 ekor/bulan, produksi + 1.150 ekor/tahun dan tenaga kerja administrasi 3 orang, teknis 1 orang, dan kasar 50 orang.
     Asumsi yang didapat adalah berat badan bakalan (awal) + 420 kg dengan harga Rp. 25.000,-/kg dengan harga jual sapi Rp. 23.000/kg (beda beli dan jual = Rp. 2.000,-/kg). Selanjutnya ADG ( pertambahan berat badan) rata-rata 0,8 kg/ekor/hari dan kebutuhan rumput + 10% dari berat badan (BB) dan konsumsi konsentrat + 1% dari BB. Asumsi lainnya kotoran sapi tertampung + 8 kg/ekor/hari dan urine sapi tertampung + 5 liter/ekor/hari.

Analisa Usaha
Investasi Tetap 
Fisik (Usia Pakai 15 tahun ) yang meliputi  kandang Penggemukan + karantina, tempat copper + garasi, penampungan dan prosesing pupuk,gudang pakan, tempat timbangan ternak, kantor + gudang alat, pos jaga, dan pagar Keliling mengeluarkan dana sebesar Rp.2.708.500.000,- dengan perhitungan penyusutan Rp. 180.565.000/tahun.
Untuk prasarana (usia pakai 10 tahun) meliputi truk 2 buah, pick Up 2 buah, copper 2 buah, timbangan ternak 1 buah, dan alat-alat kantor yang semuanya mengeluarkan dana sebesar Rp. 1.110.000.000,- dengan penyusutan Rp. 111.000.000,-/tahun)
Alat-alat Kesehatan Hewan (usia pakai 3 tahun) mencapai Rp.      24.000.000,- dengan penyusutan Rp. 8.000.000,-/tahun, dan alat-alat Kandang (usia pakai 2 tahun) sebesar Rp.      20.000.000,- dengan penyusutan Rp. 10.000.000,-/tahun.
sapi2
Cast Flow
Perhitungan/ekor/periode (150 hari).
Pengeluaran
-   Selisih harga bibit – harga jual/kg
    400 kg x Rp. 2.000,-                   = Rp.   800.000,-
-   Pakan
    1) Rumput 40 kg x 150 hari x Rp. 100          = Rp.   600.000,-
    2) Konsentrat 4 kg x 150 hari x Rp. 1.500,-   = Rp.   900.000,-
                                       Jumlah                          = Rp.1.500.000,-

-    Obat-obatan 150 hari x Rp. 750,-                = Rp.   112.500,-
-    Tenaga kerja                                             = Rp.   225.000,-
-    Operasional dll                                           = Rp.    50.000,-
                                        Jumlah                          = Rp.   387.500,-
                    
                                              (a) Jumlah total                = Rp.2.687.500,-


Pemasukan
-    Hasil pertambahan berat badan
      0,8 x 150 hari x Rp. 23.000,-      = Rp.  2.760.000,-
-    Hasil pupuk kandang
     8 kg x 150 hari x Rp. 75,-            = Rp.      90.000,-
-    Urin sapi tertampung
     5 liter x 150 hari x Rp. 1.000,-      = Rp.    750.000,-
                                           (b) Jumlah     = Rp.  3.600.000,-

Keuntungan/ekor/periode (150 hari) = (b) – (a) = Rp. 912.500,-
Keuntungan/ekor/bulan                      = Rp. 166.000,-

Perhitungan 1 tahun

Tahun I
-    Pendapatan :
     Penjualan ternak 13 kali = 13 x 50 = 650 ekor
     = 650 x Rp. 912.500,-     = Rp. 593.125.000,-

-    Pengeluaran :
    Penyusutan 1 tahun           = Rp. 309.565.000,-
    Devisiasi 5%                     = Rp.   29.656.250,-
    Pajak   10%                      = Rp.   59.312.500,-
                             Jumlah     = Rp. 398.533.750,-

-    Pendapatan bersih tahun I     = Rp. 194.591.250,-

Tahun II dan seterusnya
-    Pendapatan penjualan ternak 23 kali = 23 x 50 = 1.150 ekor
     = 1.150 x Rp. 912.500         = Rp. 1.049.375.000,-

-    Pengeluaran
     Penyusutan tahun                = Rp.    309.565.000,-
     Deviasi 5 %                         = Rp.      52.468.750,-
     Pajak 10%                           = Rp.    104.937.500,-
                              Jumlah         = Rp.    466.971.250,-

Keuntungan bersih tahun ke II dst     = Rp.    582.403.750,-
Neraca 10 tahun
sapi tabel
Perhitungan apabila ditutup pada tahun ke X
Pendapatan :
-    Pendapatan bersih 10 tahun     = Rp.   5.261.092.900,-
-    Penjualan 550 ekor sapi           = Rp.   5.500.000.000,-
-    Penjualan sisa asset dll            = Rp.        50.000.000,-
                                                Jumlah     = Rp. 10.811.092.900, -

Pengeluaran :
-    Pengadaan sapi 550 ekor             = Rp.    5.500.000.000,-
-    Perhitungan penyusutan yang
     belum dihitung selama 5 tahun     = Rp.       502.825.000,-
                                        Jumlah     = Rp.    6.402.825.000,-

Keuntungan selama 10 tahun         = Rp.    4.408.267.900,-