background-attachment: fixed;

Profil Desa Kedungumpul, Kandangan

Kantor desa kedungumpul yang dikepalai oleh Pak Suwito.

Gotong Royong Dusun Sendang

kegiatan gotong royong ini dilakukan di dusun sendang pada hari Minggu 21 Januari 2012

Pembudidayaan Kolam Ikan Lele di Dusun Ngulakan 28 Januari 2012

Pembudidayaan Ikan Lele di Dusun Ngulakan dengan peninjauan Mahasiswa Tim 1 KKN Undip

Rapat PKK ibu-ibu desa kedungumpul

Pertemuan ibu-ibu PKK desa Kedungumpul yang dilaksanakan di rumah Pak Suwito selaku Kepala Desa Kedungumpul

Gambar Umum Desa Kedungumpul

Peta Umum Desa Kedungumpul

Minggu, 19 Februari 2012

Dusun Piyak


Kata Piyak yang melekat pada nama dusun ini awal mulanya dikisahkan bahwa di dusun tersebut ditemukan 2 buah makam. Makam tersebut diketahui berasal dari trah Jogja dan trah Solo. Kata trah berarti keturunan. Dusun Piyak sendiri dahulu di bagi dua- di iyak berdasarkan kedua trah tersebut. Hal tersebutlah yang mendasari penamaan dusun Piyak seperti sekarang ini.  Ada kemiripan cerita yang bisa ditangkap mengenai asal mula mengapa dusun ini kemudian diberi nama Piyak pada cerita terbentuknya dusun Ngumpul, yaitu salah seorang saudara dari kyai Ngumpul yang masa itu ikut melakukan perjalanan kemudian memilih menetap di dusun ini.
               Ada pembeda antara kedua trah yang menempati area ini, trah Mataram atau yang berasal dari kasunanan Jogja lebih cenderung menempati daerah perbukitan. Mereka merupakan keturunan orang-orang darah biru yang melarikan diri. Terbukti dengan nama-nama warga yang diawali dengan gelar seperti R. (Raden), R.R. (Raden Roro), atau R.M. (Raden Mas) Sementara trah Solo lebih berasal dari rakyat Jelata, mereka tinggal di dataran yang lebih rendah. Kedua trah ini dibatasi oleh sebuah jalan yang memang benar-benar memisahkan keduanya dari berbagai aspek. Hampir jarang ditemukan interaksi di antara kedua trah tersebut.
               Seiring perkembangan zaman, perbedaan trah tersebut kini perlahan sudah mulai pudar. Mulai sejak akhir dekade 90-an pembeda antara trah Solo dan trah Jogja mulai tidak begitu dipermasalahkan oleh waga di dusun Piyak. Sebelumnya, seperti untuk urusan orang meninggal, yang berasal dari masing-masing trah selalu dimakamkan di komplek pemakaman khusus tiap trah. Kini, warga lebih bebas memakamkan sanak-saudaranya yang wafat untuk dimakamkan di mana saja. Tidak lagi mengacu pada dari trah mana ia berasal.

Dusun Ngulakan



Pada zaman dahulu dusun ini didatangi oleh sepasang musafir yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Sepasang musafir itu bernama Raden Ronggo Kusumo dan istrinya bernama Gadung Melati. Ketika sampai di daerah ini, sepasang suami-istri itu berjalan ke arah timur melewati bukit Dandang dan bukit Giling. Setelah melewati kedua bukit tersebut mereka menemukan sebuah pohon beringin dan pohon Bendo Rau yang sangat besar dan rimbun. Keduanya kemudian singgah dan duduk-duduk di bawahnya karena merasa lelah. Tiba-tiba mereka mendengar suara percikan air, yang ternyata suara tersebut berasal dari mata air yang berada di bawah pohon Bendo Rau. Karena tempat yang mereka singgahi ini ternyata sangat indah, sejuk dan nyaman, merekapun memutuskan untuk menetap dan tidak melanjutkan perjalanan ke barat ataupun kembali ke Kediri. Selanjutnya kedua musafir ini membuat gubuk di dekat sumber mata air tersebut.
               Keseharian mereka berdua isi dengan bercocok tanam. Macam-macam umbi-umbian dan ketela yang mereka olah menjadi kulak ubi dan kulak tape ketela. Setelah beberapa tahun kemudian, pasangan yang tidak memiliki keturunan ini di datangi oleh keluarga musafir yang sedang dalam perjalanan pula. Keluarga itu terdiri atas suami-istri dan 3 orang anak yang kemudian memutuskan untuk membangun gubuk di samping gubuk milik Raden Ronggo Kusumo dan Gadung Melati. Keluarga Raden Ronggo Kusumo sering memberikan kulak ubi kepada keluarga pendatang setiap harinya.
               Pada suatu hari, Raden Ronggo Kusumo tidak memberikan kulak kepada tetangga barunya itu. Ketiga anak pendatang tersebutpun mendatangi gubuk Raden Ronggo Kusumo dan bertanya, “mbah, apa ndak ngulak?” Raden Ronggo Kusumopun menjawab, “o, ya.. nanti tak ngulakin.” Mendengar jawaban tersebut, kemudian ketiga anak tersebut memanggil Raden Ronggo Kusumo dengan sebutan mbah Ngulakin. Dari sana kemudian dusun ini dikenal dengan sebutan dusun Ngulakan.
               Versi lain menjelaskan bahwa asal mula mengapa dusun ini bernama dusun Ngulakan adalah karena dahulu pernah ada pasar yang dibangun oleh Raden Broto Wage, seorang musafir dari Jogjakarta yang membangun rumah di dekat rumah Raden Ronggo Kusumo. Tahun ke tahun setelah itu semakin banyak orang yang berdatangan ke dusun ini untuk melakuakan transaksi jual beli atau kulakan.  Orang-orang akhirnya lebih akrab menyebut dusun ini dengan sebutan dusun Kulakan atau dusun Ngulakan.
               Efek dari semakin banyaknya warga yang datang dan akhirnya menetap di dusun Ngulakan, mereka akhirnya membendung mata air di bawah pohon Bendo Rau yang ditemukan oleh Raden Ronggo Kusumo. Mata air tersebut kemudian diberi nama Sendang Sirau. Pernah juga daerah dusun Ngulakan terkena angin Topan, yang kemudian menerjang pohon beringin dan pohon bendo rau yang ada di atasnya. Batang pohon yang tumbang ada yang masuk ke dalam sendang. Hingga kini, meski berkali-kali di coba oleh warga dusun Ngulakan, potongan batang pohon yang ada di dalam sendang tersebut tidak bisa dikeluarkan. Dikisahkan juga pada suatu hari, Raden Ronggo Kusumo meminta izin kepada istrinya, Gadung Melati, untuk pergi ke desa Blimbing untuk menjenguk temannya yang ada di desa tersebut.  Sesampainya di desa tersebut, Raden Ronggo Kusumo jatuh sakit. Setelah 3 hari tidak kunjung membaik, akhirnya Raden Ronggo Kusumo meninggal dunia dan dimakamkan di dusun Blimbing. Tidak lama kemudian istri Raden Kusumo-pun ikut meninggal di dusun Ngulakan.
               Suatu hari, Raden Broto Wage mencuci barang dagangannya di sendang Sirau. Ketika itu Raden Broto Wage menggunakan baju berwarna hijau gadung (gading). Setibanya di rumah, Raden Broto kesurupan dan mengaku yang menyurupinya adalah Gadung Melati. Setelah diperdengarkan bunyi kendang dan bonang, Raden Broto Wage sembuh dari kesurupannya dan mendapatkan amanat bahwa Sendang Sirau harus dibersihkan dan dikuras airnya setiap bulan syuro. Prosesi kuras kolam ini masih dilaksanakan hingga saat ini tiap hari kamis kliwon. Warga biasa menyebutnya dengan upacara sadranan kali, yaitu membedah kali (sendang) dengan disertai membawa tumpeng nasi megono. Kemudian acara dilanjutkan dengan pentas seni kuda lumping pada sore harinya.
Di dusun ini juga ditemukan dua buah batu lumpang- batu alat penumbuk padi, berbentuk bulat dengan bagian lebih cekung di bagian tengahnya. Batu tersebut berada di belakang rumah warga dan satu lagi berada di kebun belakang rumah warga. Penemuan dua buah batu ini semakin memperkuat bahwa memang dahulu tempat ini- dusun Ngulakan- pernah ramai dan menjadi pemukiman warga pada suatu masa jauh sebelum masa seperti sekarang ini.


Tradisi-Tradisi Yang Ada di Desa Kedungmpul


Dari hasil observasi dan wawancara ke setiap dusun di desa Kedungumpul, dapat dicatat beberapa tradisi lisan yang ada dan dilestarikan oleh masyarakat, di antaranya:
Sadranan
Sadranan atau juga bisa disebut Nyadran adalah akulturasi sunan Kalijaga dari tradisi Hindu-Budha yang telah ada semenjak Islam belum masuk ke tanah Jawa. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
               Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media si’ar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
               Nyadran sendiri berasal dari kata sodrun (bahasa Arab) yang artinya hati. Orang yang akan melaksanakan puasa, dalam hal ini adalah puasa Ramadhan, maka harus membersihkan hatinya dari dosa-dosa. Baik dosa dengan para leluhurnya yang telah meninggal, maupun dosa terhadap yang masih hidup. Untuk membersihkan diri dari dosa pada para leluhur caranya adalah dengan mendoakan mereka agar arwahnya diterima Allah SWT, dan  digolongkan sebagai ummat Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itulah bulan sya’ban dinamakan dengan bulan Ruwah, yang berasal dari kata ruh (tunggal) dan arwah (jamak) jadi ruwah.
               Adapun beberapa kelengkapan/piranti untuk syukuran ruwahan yang harus ada adalah (aslinya): Pisang Rojo (Roja’), ketan (Qoth’an) dan Apem (Afuwun). Pisang roja’, maknanya apabila telah datang Roja’ kembali dipanggil yang kuasa (meninggal). Maka Qoth’an, tidak dapat ditunda, tidak dapat minta atau diundur sedetikpun. Maka harapannya hanya Apem (afuwun) ampunan, baik ampunan dari Allah SWT, maupun maaf dan ampunan dari orang-orang yang dulu pernah disakitinya. Karenanya, yang perlu dilakukan dalam tradisi nyadran adalah: seruan untuk saling memaafkan, memaafkan orang yang telah tiada maupun yang masih hidup dan memohonkan ampunan bagi arwah yang telah meninggalkan kita.
               Di Temanggung, khususnya di desa Kedungumpul, tradisi sadranan masih sering dilaksanakan. Tidak hanya dilaksanakan pada makam-makam leluhur, tetapi juga dilaksanakan pada sendang sirau dan sendang Kedungwiyu sertra di kali Progo yang biasa disebut dengan sadranan kali atau ngawuh empang. Tradisi Nyadran Kali, menurut salah satu sesepuh di desa Kedungumpul merupakan wujud rasa syukur atas pemenuhan kebutuhan akan air bersih. Acara yang digelar setiap 1 Syuro ini berisikan serangkaian kegiatan, di antaranya yaitu dimulai dengan prosesi ngawuh empang atau menguras sendang pada pagi hari setelah sebelumnya acara dibuka oleh pemangku adat di dusun/ desa Kedungumpul. Setelah melakukan kegiatan ngawuh empang selesai. Dilanjutkan dengan acara berdoa bersama guna mendoakan sesepuh yang telah dulu wafat dan mengucap syukur karena kebutuhan warga akan air untuk kebutuhan sehari-hari, dan kebutuhan untuk irigasi pertanian terpenuhi. Selanjutnya adalah prosesi makan-makan warga bersama-sama di sendang sirau dan sendang kedungwiyu. Acara makan-makan bersama ini dari makanan yang dibawa oleh warga ke tempat ritual sadranan.  Makanan tersebut berupa ’Panggang Tumpeng’ dan wadah  ’tenong’.
               Panggang Tumpeng’  berupa  ayam jantan panggang, ’tenong’ yang berisi pisang raja setangkep (dua lapis) dan abon-abon (gantal, kemenyan, kembang wangi) di atas daun, kemudian diletakkan nasi tumpeng, lauk-pauk, beserta ingkung ayam. Sedangkan ’tenong’ berisi tumpeng nasi putih, arak-arakan atau hasil panenan komplit, polo kependem atau hasil bumi, takir tempat jenang bakalan (takir kelapa mentah, takir gula merah, takir beras), gecok (takir isi jeroan ayam belum dimasak), jadah tumpak (jadah yang disusun bertumpuk dengan lapisan atas diberi gula dan parutan kelapa) dan wajik.  Acara berikutnya adalah biasanya diadakan kesenian kuda lumping. Kesenian khas yang berasal dari Temanggung ini biasanya dimainkan pada sore hari sebagai bentuk acara penutup pada hari itu. Akan  tetapi, sebenarnya malamnya masih dilanjutkan dengan tirakatan di rumah kepala dusun. Demikianlah serangkaian kegiatan sadranan kali yang dilakukan oleh warga desa Kedungumpul.
               Dalam konteks sosial dan budaya kekinian, nyadran dapat dijadikan wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Kita dapat melihat, ketika nyadran trah tertentu tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, saudara berbeda agama, golongan, partai politik berkumpul menjadi satu. Mereka berbaur saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.
               Di dalam sadranan kali juga ada beberapa manfaat yang terkandung, manfaat yang terkandung secara umum adalah:
1.      Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada masyarakat sekitar yang berwujud atas pemenuhan kebutuhan air bersih
2.       Tradisi sadrana kali dapat mempererat tali silaturahmi yang ada di masyarakat setempat
3.      Untuk sarana berbagi kebersamaan dan melestarikan nilai-nilai tradisional Budaya.
4.       Sebagai sarana untuk mengingat perjalanan Desa Sucen
5.      Menambah rasa cinta pada alam sehingga terdorong selalu menjaganya

Kamis, 09 Februari 2012

Dusun Kedungwiyu

Dusun Kedungwiyu merupakan dusun yang bertempat di perbatasan Desa Kedungumpul dan Desa Wadas. Dusun ini merupakan satu-satunya Dusun di Kedungumpul yang di pimpin oleh seorang ibu yang bernama Siti Nurhidayah. Dusun ini memiliki sejarah penting mengenai asal-asul Desa Kedungumpul yang mana disana terletak makam kiai kedu.Kegiatan rutin di Dusun ini adalah pengajian ibu-ibu yang diadakan tiap malam minggu dan yasinan tiap malam Jumat.
Terdapat beberapa peninggalan sejarah disana diantaranya peninggalan batu-batu serta pohon sendang yang mana pohon itu memiliki mata air yang tidak habis, masyarakat disana memiliki kepercayaan bahwa air tersebut dapat membawa berkah.
Sesepuh kedungwiyu Mbah Asmo mengatakan bahwa pohon sendang itu merupakan sumber penghidupan di masa lalu yang mana sering dipakai untuk mencuci, serta untuk diminum. Disana juga terdapat anak sungai kaliprogo, orang-orang sering datang kesana untuk melakukan salah satu aktivitas yang menyenangkan seprti rafting.


Dusun Ngesrep

Dusun Ngesrep bertempat di sebelah barat desa kedungumpul, Dusun ini dipimpin oleh Pak Sukirman. Dusun ini terdiri dari pendatang yang pindah dari kota temanggung. Dusun ini bermayoritas non muslim, dengan jumlah warga yang sebagian besar beragama Nasrani. Dusun ini dikatakan dusun paling aman di antara dusun lainnya di desa kedungumpul dikarenakan setiap warganya rata-rata memliki peliharaan anjing. Di katakan juga dusun ini memiliki tingkat pendidikan yang lumayan dikarenakan banyak lulusan sarjana disana.
Di Dusun ini terdapat peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tersebut berupa batu Yoni yang terletak di sebelah pos kamling dusun Ngesrep.
 Batu Yoni ini sebelumnya memiliki penutup yang saat ini telah hilang karena ulah tangan yang tidak bertanggungjawab. Hal ini sangat disayangkan sekali karena Batu Yoni tersebut merupakan salah satu peninggalan yang masih ada di dusun Ngesrep.